Kamis, 17 April 2014

True story : Pesona Suksma Ratri "Virus ini adalah sahabat saya"

Suksma Ratri adalah Pendiri akun Twitter @NSPR12, HIV (+) perempuan, pembela hak-hak perempuan, HIV/AIDS, migran, dan kesetaraan gender. Pengalaman hidupnya menjadikannya sebagai seorang konselor, mediator. Dia juga aktif di komunitas penulis. Beliau pernah berumah tangga dengan seorang suami ODHA (Orang dengan HIV atau AIDS) dan pada akhirnya beliau menjadi salah satu dari ODHA (Orang dengan HIV atau AIDS).

Suksma berkata, “Bicara soal perjalanan hidup, saya sering bingung harus mulai dari mana. Saya adalah seorang anak tunggal dari keluarga biasa saja, tapi saya selalu merasa bahwa saya mempunyai hidup yang sangat berwarna. Sejak masa kuliah, saya sudah sering membantu adik-adik kelas untuk menyelesaikan konflik pribadi, seperti kabur dari rumah, kecanduan narkoba sampai hamil di luar nikah dan semua datang kepada saya untuk minta bantuan. Saya selalu dengan senang hati membantu mereka. Saya tidak pernah segan meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka. Orang tua saya tidak kaya, tapi kami kaya akan pengalaman. Ibu selalu mendorong saya untuk membantu teman.”

“Tahun 2001 saya diterima bekerja di sebuah hotel bintang lima di Bandung sebagai PR Officer. Di hotel inilah saya bertemu dengan almarhum/eks suami. Dia adalah seorang trainee yang magang di hotel tempat saya bekerja. Sikapnya yang baik, ramah, dan lucu membuat saya kepincut. Meskipun banyak orang yang menertawakan, kami tetap memutuskan untuk pacaran. Dalam setahun masa pacaran, saya melihat dia sangat terbuka soal masa lalunya yang kelam. Dia menceritakan semuanya, mulai dari masalah kecanduannya hingga pengalamannya masuk penjara karena dia menjadi Bandar Narkoba. Saya mencintai dia dengan sepenuh hati. Dan bagi saya, masa lalu yang kelam bukan menjadi masalah selama hal itu tidak terulang lagi.”

“Masa pacaran kami sudah tentu banyak pasang surutnya. Setelah putus-sambung beberapa kali, dia akhirnya melamar dan saya menerimanya. Dia berkata kepada saya bahwa dia merasa aman, ingin memperbaiki diri, hidup lurus dan ingin memiliki seseorang yang mengingatkannya ketika dia mulai kacau. Dan orang tersebut adalah saya. Saya luluh, terharu dan merasa dibutuhkan persis seperti ketika adik-adik kelas meminta bantuan saya untuk menjaga mereka.”

“Tiga bulan sebelum menikah, orang tuanya meminta saya pindah ke rumah mereka dengan alasan agar saya bisa beradaptasi dengan keluarga. Saya pun menurut. Dua bulan sebelum kami menikah, tiba-tiba kontrak kerjanya sebagai Casual Worker di hotel tempat kami bekerja tidak diperpanjang. Sebagai perempuan modern, saya tidak mempermasalahkan siapa yang menjadi tulang punggung keluarga. Selama saya melihat usahanya untuk mencari pekerjaan, saya tidak keberatan menanggung semua biaya untuk keperluan sehari-hari.”

“Sedikit demi sedikit konflik mulai datang, terutama untuk urusan patungan biaya pernikahan. Keluarganya tidak bisa memberi banyak sumbangan namun banyak maunya dan ini membuat saya agak kesal. Sementara keluarga saya mempunyai aturan bahwa pihak yang menyumbang lebih banyak, yang akan menentukan keputusan akhirnya; dalam hal ini, saya dan keluarga saya.”

“Suatu hari, saya teringat ceritanya tentang bagaimana dia dulu sering berbagi jarum suntik dengan teman-temannya yang sesama pecandu. Saya yang sudah memiliki sedikit pengetahuan tentang penularan HIV, mengajaknya untuk melakukan tes HIV bersama sebelum menikah. Mendengar permintaan saya, dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa dia sudah pernah melakukan tes dan hasilnya negatif. Saya meminta dia untuk menunjukkan hasil tesnya, akan tetapi yang saya terima hanya surat pembebasan dari penjara. Dia berkilah hasil tes tersebut telah hilang. Saya sebenarnya masih ragu, tapi saya berpikir lagi bahwa selama ini dia sudah terbuka dan jujur tentang masa lalunya dan pernah masuk ke penjara. Akhirnya saya memutuskan untuk mempercayainya, meski hati saya masih diliputi sedikit keraguan.”

“Berbagai konflik yang berkaitan dengan finansial untuk pernikahan pun makin hari semakin banyak. Kami sering bertengkar. Ketika adu mulut, dia sering memaksakan kehendak dan keluarganya dengan berkata bahwa orang tuanya sudah baik mau menampung setelah menikah. Puncaknya adalah saat dia berkata bahwa kalkulasi biaya pernikahan yang saya buat kurang satu juta dari jumlah yang diberi orang tuanya. Saya bersikeras bahwa itu jumlah yang saya terima tetapi dia tetap berkeras hati. Masalah ini tidak selesai dan menggantung begitu saja. Selepas tuduhan itu, keraguan di hati saya tumbuh semakin besar seiring dengan semakin dekatnya hari pernikahan kami.”

“Tepatnya seminggu sebelum hari pernikahan, saya merasa tidak tahan lagi dan menelepon tante saya, adik bungsu Papa yang paling dekat dengan saya. Belum sempat saya mengatakan sesuatu, dia masuk ke kamar dan duduk di seberang saya. Sementara tante saya sudah mengangkat telepon, dia memandang saya dengan tatapan curiga. Saya tidak bisa mengungkapkan sesuatu kepada Tante dan hanya bisa menangis. Untung tante saya cepat tanggap. Dia menuntun pembicaraan dan saya cukup menjawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’ saja.”

“Lewat pembicaraan tersebut, Tante mengetahui kejadian yang saya alami. Beliau sempat berkata, ‘jika kamu tidak sreg, batalkan saja.’ Tapi saya menolak karena saya berpikir bahwa laki-laki itu adalah pilihan saya dan tidak dijodohkan. Saya sendiri yang menerima lamarannya maka saya harus tanggung resikonya. Saya tidak ingin mencoreng nama baik keluarga dengan membatalkan pernikahan seminggu sebelum hari ‘H’. Sebelum mengakhiri pembicaraan, tante berpesan, ‘Nduk, kalau hanya tengkar mulut, tahan! Tapi kalau tangan dan kakinya sudah ikut bicara, biarpun baru menikah sehari, kamu tinggalkan dia.’”

“Singkat cerita, semua persoalan seolah larut sampai akhirnya kami menikah. Setelah tiga minggu menikah, saya hamil. Semua orang bersuka cita mendengar berita ini. Tidak lama kebahagiaan itu saya rasakan, karena dia mulai mengontrol saya dalam segala hal. Dia berkata bahwa saya boros sehingga kartu kredit dan kartu ATM saya diambilnya. “Mulai sekarang, aku yang atur keuangan kita”. Saya ternganga. Saya yang bekerja sampai jungkir balik, dia yang memegang keuangannya. Tapi saya hanya bisa diam. Kemudian saya dijatah sehari hanya 15,000 rupiah. Belanja bulanan harus dengan dia. Ingin membeli barang harus seizin dia. Absurd rasanya karena saya yang selalu pegang uang sendiri. Tapi saya menurut saja. Kenapa? Karena setiap kali saya protes, dia selalu berkata, istri harus nurut apa kata suami. Kamu mau jadi istri durhaka? Dan argumen itu dia gunakan untuk manipulasi banyak hal. Setiap kali saya melawan, dia akan berkata, “Kamu memang istri durhaka! Kamu tidak nurut suami ya?” Akhirnya saya diam saja dan malas untuk ribut. Saya membiarkan dia melakukan apapun yang dia inginkan.”

“Ketika kehamilan saya masuk bulan ke-4, saya mulai melihat tanda-tanda suami memakai putaw lagi. Sehari setelah menikah, dia merengek minta dibelikan HP dari uang hadiah pernikahan kami. Saya turuti karena di rumah tidak ada telepon. Tapi meski demikian, saya tetap kesulitan menghubunginya. Seringkali HP-nya nonaktif atau berada di luar jangkauan. Setiap kali saya bertanya ketika dia di rumah, dia selalu berkata bahwa HP-nya aktif dan tidak ada panggilan masuk. Selain melihat tanda-tanda sakaw pada dirinya, saya juga sering menemukan plastik-plastik kecil bekas paketan putaw di dalam kamar, termasuk di dalam boks tissue hadiah perkawinan. Tapi setiap kali saya bertanya, dia selalu berkata, Itu bekas dulu. Aneh!”

“Saat kehamilan saya masuk bulan ke-5, dia belum juga mempunyai pekerjaan. Saya masih tetap bekerja sebagai PR Officer dan kadang harus lembur atau masuk di hari libur saat ada event. Dia mulai sering protes dan melarang saya masuk kerja atau lembur. Saya selalu berkata bahwa itu resiko pekerjaan. Dia mulai sering marah-marah tidak jelas dan menyebut saya arogan karena saya mempunyai jabatan di hotel bintang 5, sementara dia hanya pengangguran.”

“Ketika marah, dia sering memukul saya. Kadangkala melempar barang ke arah saya, istrinya yang sedang hamil 5 bulan. Semakin hari saya semakin sering melihat tanda-tanda sakaw pada suami. Hingga suatu hari saya menemukan suntikan bekas di bawah karpet. Saya tidak langsung mengkonfrontasi, tapi saya simpan sebagai barang bukti.”

‘Kehamilan saya masuk bulan ke-6. Ketika pulang kerja, saya melihat dia berkeringat. Ada bercak darah di sprei dan lengannya. Saya sakit hati karena uang hasil kerja keras saya dipakai untuk membeli putaw. Saya tidak tahan dan langsung menuduh dia pakai lagi. Awalnya dia tidak mengakui. Saya mengambil bekas suntikannya dan melempar ke mukanya. Dia marah dan tidak terima perlakuan tersebut sehingga saya ditendang sampai jatuh dari tempat tidur. Kami beradu fisik sampai orang tuanya masuk dan memisahkan kami.”

“Ibunya menyeretnya ke kamar utama. Lalu mereka berbicara selama satu jam lebih. Keluar dari kamar, dia menghampiri saya dan menangis meraung-raung seperti anak kecil. Kemudian bersujud di kaki saya dan meminta ampun kepada saya atas apa yang telah dia lakukan sebelumnya. Awalnya saya diam saja. Tapi mengingat saya sedang mengandung anaknya, saya luluh. Saya memaafkan dia dan kami melanjutkan hidup bersama.”

“Di pertengahan kehamilan saya yang memasuki bulan ke-7, saya harus menjalani operasi Caesar karena ketuban saya pecah dan airnya keluar terus. Dokter kandungan bertanya, apakah saya banyak jalan, naik-turun tangga atau pernah jatuh? “Saya terlalu banyak jalan,” jawabku. Seluruh biaya operasi dan rumah sakit saya tanggung sendiri. Keluarga suami tidak menyumbang sepeser pun. Bahkan suami tidak menunggui saya ketika operasi berlangsung, hanya ibu yang mendampingi saya. Alasan suami karena dia baru mulai bekerja di tempat baru, sehingga segan minta libur. Selama dua minggu saya di rumah sakit, dia hanya datang menjenguk lima kali dan tidak pernah menginap. Ibu merasa ada yang janggal, tapi beliau diam saja karena terlalu excited dengan kelahiran Srikandhi, cucu pertamanya. Saya berharap dengan kehadiran Srikandhi akan mengubah situasi antara kami.”

Well, memang ada perubahan. Tapi kecil dan hanya sebentar saja. Bila sebelumnya dia sering marah karena menganggur dan menuduh saya sombong, sekarang dia marah karena gajinya jauh lebih kecil dari gaji saya. Padahal sumpah demi Tuhan, saya tidak pernah mempermasalahkan berapa pun gaji yang diterimanya. Lalu dia mulai bersikap kasar lagi kepada saya. Dipukul atau dilempar barang sudah menjadi makanan sehari-hari saya. Tapi dia cerdik, karena selalu memukul saya di tempat-tempat yang tidak terlihat sehingga orang tidak akan tahu. Setiap kali mengantar saya ke kantor, dia sangat mesra. Semua rekan kerja saya selalu memuji-muji dia sebagai suami yang romantis.”

“Memasuki tahun ke-2 pernikahan kami, saya mulai merasa terkekang karena tidak diizinkan keluar dengan teman. Saya juga tidak boleh memiliki teman lelaki dan menerima barang dari lelaki (meski pun ketika saya berulang tahun). Puncaknya, pada suatu pagi saya menyatakan bahwa SD saya akan mengadakan reuni dan kami sepakat untuk datang tanpa membawa pasangan. Dia marah dan mengancam akan menceraikan saya jika saya bersikeras pergi. Saya tetap pergi. Sepulang dari reuni, saya membawa sebuah buku, hadiah dari teman lama, Kerudung Merah Krimizi karya Remy Silado. Dia tidak senang melihat saya membawa pulang pemberian orang, lalu memukuli saya seperti biasanya. Saya memang diam, tapi kali ini otak saya mulai berputar mencari cara untuk keluar.”

“Keesokan paginya, ketika sedang berdandan, suami melarang saya pergi bekerja. Saya tentu saja menolak. Dengan mudah saya menjawab, aku harus bekerja. Dia kalap dan menyiram air panas yang disediakan untuk menyeduh susu anak ke muka saya. Untung air tersebut bukan air mendidih. Saya diam saja, lalu mengeringkan wajah dan rambut. Memulas make up lagi dan berangkat kerja. Singkat cerita, sepulang kerja hari itu juga saya pindahkan semua barang-barang ke mobil boks sewaan, membawa anak saya keluar dari rumah neraka dan pulang ke rumah ibu.”

“Lebaran tahun 2005, kami sudah pisah rumah. Kami sepakat bahwa hari pertama Srikandhi berlebaran dengan saya dan hari kedua dengan keluarganya. Tiba-tiba dia datang pada Lebaran hari pertama dan memaksa membawa Srikandhi ke rumahnya. Saya marah dan ketika akan merebut Srikandhi dari gendongannya, dia menendang perut saya sehingga saya jatuh membentur tembok. Dia menendang saya di depan ibu dan disaksikan langsung oleh beliau. Akhirnya Mama memutuskan untuk menemani Srikandhi ke rumah orangtua suami dan berjanji akan pulang beberapa jam kemudian. Tiga jam terasa seperti tiga tahun.”

“Ketika pulang, Mama menitipkan Srikandhi kepada tetangga lalu beliau menemui saya di dalam rumah dan berkata, “Cerai sekarang juga! Mama nggak ridho!” Ah, kemarahan Mama itu seperti restu yang paling saya tunggu. Tahun 2005 kami resmi bercerai. Kami menikah bulan Maret dan bercerai di bulan Maret juga. Tahun 2006 saya mendapat kabar bahwa dia sakit. Lalu tiba-tiba saya menerima SMS dari dia, Bunda, kamu dan Srikandhi tes HIV ya, tolong. Aku sudah test, aku positif. Begitu isi SMS itu. Apa yang saya rasakan? Panik? Tidak. Saya sudah menduganya.”

“Dua hari kemudian saya membawa Srikandhi untuk tes HIV di sebuah rumah sakit. Hasilnya keluar sehari setelah tes. Konselor yang menangani saya memberitahu bahwa anak saya negatif. Saya? Positif. Saya tidak kaget, tapi saya marah sekali waktu itu. Saya tidak marah karena tertular. Sama sekali tidak! Saya marah karena saya sudah dibohonginya mentah-mentah.”

“Hal pertama yang saya lakukan setelah mengetahui hasilnya adalah memberitahu teman-teman dekat saya. Ada lima orang teman dekat saya waktu itu. @bundadi dan @paDE22 adalah dua di antaranya. Saya gambling saja. Saya sudah mendengar bagaimana stigma terhadap ODHA. Tapi saya harus jujur kepada mereka. Mereka berhak tahu. Jika mereka tidak ingin berteman dengan saya, saya bisa mengerti. Di luar dugaan, setelah saya mengungkapkan semuanya, tidak ada yang memutuskan tali persahabatan hingga saat ini.”

“Pertengahan tahun 2006, saya diterima bekerja di @RumahCemara sebagai Manajer Kasus. Pekerjaan sebagai PR Office saya tinggalkan dan mulai bekerja sebagai MK. Srikandhi tidak pernah mengingat bagaimana wajah ayahnya karena selepas perceraian kami, mantan suami tidak pernah datang menjenguk, apalagi memberi tunjangan. Di luar dugaan, ternyata mantan suami adalah klien dampingan di Rumah Cemara.”

“Rekan sesama MK yang mendampinginya pernah melihat foto Srikandhi, lalu mengajak saya bicara. Keadaannya sudah buruk, sempat dementia dan tidak ingat siapa pun kecuali ibu dan anaknya. Dia ingin bertemu anaknya, Srikandhi. Saya seorang pendendam. Dan saat itu saya belum bisa memaafkan perlakuannya kepada saya. Bukan karena virus yang ditularkannya kepada saya, tapi penyebab kami bercerai adalah KDRT. Bahkan saya tes HIV baru setelah kami cerai. Hati saya beku dan menolak membawa Srikandhi untuk menjenguknya. Dalam hati sempat berpikir, biar dia tahu rasa! Rekan MK saya hanya berkata, ‘Saya mengerti perasaan kamu. Tapi tolong kamu pikirin lagi atas nama kemanusiaan.’”

“Setelah berpikir lama dan berkonsultasi dengan keluarga, akhirnya saya mengalah dan membawa Srikandhi beserta rekan MK untuk menjenguk mantan suami. Apa yang saya lihat di hadapan saya adalah sesuatu yang di luar dugaan. Srikandhi tidak mau dekat-dekat dengan ayahnya karena takut. Dia tidak mengenali saya. Dia ingat saya, ketika saya masih kerja di hotel. Bukan sebagai mantan istrinya. Memorinya sudah kacau. Saya dan Srikandhi hanya satu kali menjenguknya. Srikandhi trauma dan tidak mau ke sana lagi. Saya tidak bisa memaksa.”

“Selang setahun dari kejadian itu, saya mendengar kabar bahwa dia meninggal dunia. Ada perasaan aneh menyusupi hati saya ketika menerima kabar itu. Saya merasa sejuk, lega, lepas, dan ringan. Awalnya saya menolak mentah-mentah ajakan Mama untuk datang ke pemakaman tersebut. Tapi Mama berkata, “Terakhir kali. Setelah ini kamu tidak akan terganggu lagi.” Saya menurut apa kata Mama, tapi saya tidak mau mendekat ke liang lahatnya. Saya berdiri di kejauhan dan memastikan laki-laki itu benar-benar sudah meninggal dunia.”

“Saya tidak pernah menangisi kondisi saya yang tertular HIV dari alm mantan suami. Air mata kadang masih turun jika mengingat kebohongannya. Kadang saya bertanya kepada diri sendiri, kenapa dulu saya mau menikah dengannya? Sok pahlawan! Itu jawaban yang saya dapat. Saya begitu ingin menyelamatkannya dan ingin mengajaknya terlepas dari narkoba. Tapi saya tidak pernah sudi meneteskan air mata untuk kematiannya. Sadis? Mungkin. Saya tidak peduli karena dia sudah menyakiti hati saya dan alm mantan suami adalah pelaku KDRT bukan karena dia pecandu. Walaupun dia bukan pecandu, saya rasa dia tetap akan melakukan KDRT.”

“Sahabat-sahabat saya pernah bertanya, kenapa saya tidak melabrak alm mantan suami ketika saya tahu bahwa dia mewariskan virus itu kepada saya. Saya selalu balik tanya, ‘Buat apa? Buang waktu, buang energi dan marah kepadanya tidak membuat status saya berubah jadi negatif lagi. Jadi lebih baik saya salurkan energi itu ke arah yang lebih positif saja.’”

“Sampai saat ini saya tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari siapa pun sehubungan dengan status HIV saya. Dari awal saya selalu terbuka dan tidak ada yang ditutupi. Saya tetap bisa beraktivitas seperti biasa dan teman-teman tetap menjadi teman saya. Saya juga memiliki pasangan yang statusnya negatif. Kepada dua sahabat saya @bundaDI dan @vkariuzha , saya selalu berkata jika ada yang bertanya soal status HIV saya, katakan terus terang saja. Saya merasa harus terbuka dan jujur, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri supaya saya dapat berdamai dengan virus ini. Virus ini adalah sahabat saya, di mana dia selalu menemani saya siang dan malam. Saya tidak memusuhinya. Saya memerangi stigma dan diskriminasi dengan keterbukaan. Jika ada orang yang menjauhi saya setelah mengetahui status saya, anggap saja mereka tidak menyukai saya.”

“Mengidap HIV bukan vonis mati untuk saya (dan untuk semua ODHA). Integritas dan harga diri saya tidak ditentukan oleh virus ini. Sebuah pernyataan klise yang saya rasa benar adalah HIV mungkin menutup satu pintu untuk saya, tapi pada saat yang sama jutaan jendela terbuka. Tidak ada yang berbeda antara saya dengan mereka kecuali saya mempunyai virus ini dan mereka tidak. Selain itu tidak ada yang berbeda! Saya tidak pernah menyesali satu pun keputusan yang saya perbuat selama hidup. Live and learn. Karena hidup ini terlalu indah untuk dilewati dengan penyesalan dan kemarahan. Satu pelajaran yang bisa saya petik adalah jangan pernah menyepelekan kebesaran hati orang-orang di sekitarmu dan respon yang positif dari mereka. You’ll be surprised!





Source : http://sepocikopi.com/2012/04/02/persona-suksma-ratri-virus-ini-adalah-sahabat-saya/

3 komentar:

  1. Nama saya KARI, saya telah berada dalam perbudakan besar selama hampir 2 tahun menderita di tangan seorang suami yang selingkuh, kami senang dan pergi dengan baik sampai dia berarti pacarnya yang lama dan dia mulai berkencan dengannya di luar pernikahan kami. Sebelum kamu tahu dia berhenti merawat keluarganya sendiri. Itu sampai batas tertentu, ia berencana untuk menikah dengannya dan menceraikan aku istrinya sendiri, aku telah menangis dan melaporkannya kepada keluarganya, tetapi ia tidak pernah mendengarkan siapa pun kecuali untuk memotong ceritaku, aku datang untuk mencari seorang spiritualis sejati. yang bisa menghancurkan hubungan mereka dan membuatnya kembali padaku dan 2 anak kami.

        Dalam pencarian saya, saya melihat orang-orang memberikan kesaksian tentang bagaimana pernikahan mereka di mana dipulihkan oleh Dr Okosu. Saya memilih emailnya dan menceritakan kisah saya kepadanya dan dia setuju untuk membantu saya. Setelah pekerjaannya selesai untukku, pada hari ketiga suamiku dan pacarnya bertengkar dan dia memukulinya dan dia pulang memohon padaku dan anak-anak dan meminta maaf. Dia mengatakan bahwa matanya sudah jelas sekarang dan dia tidak akan pernah melakukan apa pun untuk menyakiti keluarganya lagi dan berjanji untuk menjadi ayah yang peduli dan tidak pernah menipu lagi. Saya sangat senang bahwa saya tidak melepaskannya kepada gadis itu, semua penghargaan diberikan kepada Dr Okosu karena Anda adalah Manusia Luar Biasa yang dikirim oleh Tuhan untuk membantu orang-orang di dunia ini. Saya memiliki rasa dari keajaiban bantuan Anda dan saya akan terus menceritakan karya baik Anda. dan kepada siapa ini berkepentingan Ini adalah emailnya: drokosu01@gmail.com whatsApp number is

    +2348119663571

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berapa lama dia sakit hingga di nyata kan hiv nya sudah tidak terdeteksi

      Hapus
  2. Saya ingin mendengar pengakuan odha yg sembuh hanya hitungan bulan dari hiv apa langkah yang di buat nya

    BalasHapus